Rabu, 08 Mei 2019

Tundukkan Ajax, Spurs Bertemu Liverpool di Final Liga Champions


HOBIGAME - Keunggulan agregat 1-0 tidak berhasil dimanfaatkan Ajax Amsterdam dalam misi menyegel tiket final Liga Champions 2018/19. Berlaga di Johan Cruijff yang sarat magi pada Rabu (9/5/2019), Ajax tampil meyakinkan dengan dua kali membobol gawang Tottenham Hotspur lebih dulu.

Yang menjadi catatan, dua gol yang diciptakan oleh Matthijs de Light (5') dan Hakim Ziyech (40') itu bukannya tak sanggup dibalas oleh Spurs. Sang tamu juga mencetak dua gol via Lucas Moura pada menit 55 dan 59.

Namun, penentunya ada di pengujung laga. Moura kembali menjadi pahlawan, mencetak gol ketiga pada menit 90+6' yang mengantarkan Spurs pada kemenangan 3-2. Kemenangan yang berarti duel puncak di pentas sepak bola paling elite di level Eropa.

Formasi 4-2-3-1 dihidupkan Erik Ten Hag dengan menempatkan Kasper Dolberg sebagai penyerang tunggal yang ditopang oleh trio Dusan Tadic, Donny van de Beek, dan Ziyech.

Mauricio Pochettino pun memilih untuk turun arena dengan skema dasar serupa. Ketiadaan Harry Kane diganti dengan performa Lucas Moura di pos terdepan. Sang penyerang tunggal mendapat sokongan tiga kawannya: Christian Eriksen, Dele Alli, dan Son Heung-min.

Jika satu per satu kepala para pemain dan pelatih Ajax dibedah, mungkin kita akan menemukan pemahaman akan Belanda itu sendiri. Mereka bertanding dengan pengertian Belanda sebagai bangsa kecil dibandingkan negara-negara lain di Eropa Barat. Toh, luas negeri mereka tak lebih dari 42 ribu km persegi.

Namun, Belanda tak membutuhkan luas yang kepalang heboh untuk menebar pengaruhnya di Eropa, bahkan. Nama-nama macam Desiderius Erasmus atau Vincent van Gogh sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan cara Belanda memberi pengaruh.

Liga Champions ibarat Eropa yang begitu luas, yang bukannya tak mungkin membikin Ajax ciut. Singkirkan dulu catatan gelar juara Liga Champions di masa lampau karena ini menjadi pertama kali mereka kembali ke Liga Champions sejak 2014/15.

Tapi, Ajax memilih untuk berlaga di arena Liga Champions yang masyhur itu dengan perpaduan warisan Erasmus dan Van Gogh. Kepala mereka seperti dihuni oleh Erasmus, sementara kaki-kaki mereka digerakkan oleh roh Van Gogh.

Tak heran, Liga Champions menjadi pentas yang melahirkan pemikir bangku cadangan macam Ten Hag dan seniman lapangan bola ala para penggawanya.

Spurs barangkali tidak menjadi tim yang dibentuk oleh pemikiran ala Erasmus dan jiwa seni kebesaran Van Gogh. Yang membentuk sepak bola mereka adalah keengganan untuk meringkuk di hadapan keperkasaan lawan. Setidaknya, itulah yang sebaik-baiknya dibuktikan oleh pasukan Pochettino sepanjang perjalanan mereka di Liga Champions.

Laga baru berjalan lima menit, Ten Hag sudah bersorak girang, bangkit dari tempat duduknya di bench. Tinjunya diayunkan ke udara usai menerima pelukan dari asisten yang duduk tepat di sebelahnya. Lompatannya memang tak tinggi-tinggi amat, tapi siapa pun yang menonton juga tak bisa menampik luapan energinya.

Gestur semacam itu cuma lahir saat tim asuhannya berhasil membobol gawang lawan. Dan memang itulah yang terjadi. De Ligt, pemuda yang namanya tengah harum di ranah sepak bola itu, menjadi pemantik utama keriaan Ten Hag.

Tapi, kawan, gol bukan jelangkung yang datang tanpa perlu dijemput. Permainan cepat Ajax sejak peluit awal dibunyikan mengubah sang bek tengah menjadi penjelajah ulung kotak penalti Spurs.

Memanfaatkan sundulan Lasse Schone, De Ligt yang sudah berhasil mencapai area strategis itu langsung melesakkan tembakan yang tak mampu dibendung Hugo Lloris. Apa boleh buat, keunggulan pertama laga sekaligus kedua agregat disegel Ajax pada menit kelima.

Wajah masam Pochettino di bench boleh jadi merupakan sinyal tanda waspada bagi para penggawa Spurs. Mungkin itu pula yang memacu mereka untuk merespons cepat dan menjangkau kotak penalti Ajax. Dari sana lahirlah peluang yang dilepaskan oleh Son tepat ke arah gawang Ajax. Namun, gol penyama kedudukan masih enggan muncul karena Andre Onana masih tangguh di depan gawang.

Delapan menit laga berjalan, Spurs menunjukkan bahwa mereka emoh tunduk di hadapan keunggulan lawan. Tekanan yang mereka lepaskan sanggup mengurung Ajax di sepertiga akhir. Pada titik ini, pelanggaran menjadi cara Ajax untuk meredam serangan. Beruntung karena Daley Blind tidak diganjar kartu atas manuvernya kepada Moussa Sissoko.

Agresivitas kedua tim lantas menjadi cara paling mengasyikkan untuk memulai laga sekrusial leg kedua semifinal Liga Champions. Game on, kata orang-orang.


Ketertinggalan 0-1 belum cukup hebat untuk melenyapkan pendar Spurs. Kehadiran Son memang berdampak krusial bagi keseimbangan permainan tim. Hingga laga memasuki menit 25, Son sudah menciptakan dua tembakan mengarah gawang. Salah satunya malah lahir dari heel-flicks Eriksen yang cantik.

Spurs memang menjadi tim yang cenderung lebih agresif dalam 15 menit akhir waktu normal babak pertama. Tapi, bukan berarti Ajax kehilangan nyawanya menghadapi permainan tamu.

Jika Spurs agresif dalam menyerang, Ajax agresif melancarkan aksi defensif. Salah satu bentuk agresivitas ini mewujud dalam permainan Donny van de Beek. Serangan balik memang menjadi cara Ajax menjawab permainan Spurs.

Pada menit 30, Victor Wanyama seperti dirampok Van de Beek di area lapangan tengah. Bola yang berhasil direbut itu lantas dikirim kepada De Jong yang berlanjut kepada Tadic.

Nama yang terakhir melepaskan tembakan dari kanan pertahanan Spurs. Lloris sebenarnya sudah mati langkah. Namun, tembakan menyasar tiang jauh itu masih melenceng dari gawang lawan. Untuk sementara, selamatlah gawang Spurs dari kebobolan kedua.

Persoalannya, kelegaan itu tak bertahan lama. Sepuluh menit berselang, tribune suporter tuan rumah riuh oleh sorak-sorai para penghuninya. Yep, jagoan-jagoan mereka mengemas keunggulan kedua.

Kali ini, proses berawal dari keberhasilan Tadic mengalahkan penguasaan bola dari Kieran Trippier. Van de Beek lalu memainkan peranannya sebagai motor serangan Ajax, ia meluncur turun ke kiri dalam sebelum mengirimkan bola melebar kembali kepada Tadic yang menyerahkannya kepada Ziyech.

Nah, Ziyech-lah yang melepaskan tembakan lambung yang kembali gagal diamankan Lloris. Bangunan serangan sensasional ini mengantarkan Ajax pada keunggulan agregat 3-0.

Pada dasarnya,  agresivitas Ajax dan Spurs di babak pertama imbang secara kuantitas. Kedua tim masing-masing menciptakan enam upaya tembakan di sepanjang paruh perdana. Yang menjadi pembeda, ya, sudah pasti efektivitas.

Meski agresif, serangan Ajax tidak seperti meriam VOC yang kaku. Ajax melepaskan serangan secara masif dan cair. Skema macam ini bisa diusung karena Ten Hag memiliki pemain-pemain di lini sentral yang tak cuma piawai mengalirkan umpan dari lini kedua, tapi juga memanfaatkan peluang.

Tertinggal 0-2 di babak pertama, Spurs membuka babak kedua dengan tubian serangan. Son dan Eriksen bergantian menggempur area pertahanan Ajax dalam 10 menit pertama babak kedua.

Jika Spurs membuka babak kedua dengan garang, Ajax mengawalinya dengan riang. Three Little Birds milik Bob Marley terdengar dari tribune tuan rumah: "Don't worry about a thing, 'cause every little thing gonna be all right." Seperti itu cara suporter Ajax menopang para jagoan mereka.

Hanya, pepatah karena nila setitik rusak susu sebelanga juga berlaku di lapangan hijau. Menghadapi tiga upaya tembakan Spurs, lini pertahanan Ajax mulai panik--termasuk De Ligt. Bahkan manuvernya membuat Spurs mendapat hadiah tendangan sudut.

Tapi, adagium itu benar-benar menegur Ajax pada menit ke-55. Ceritanya dimulai dengan keberhasilan Danny Rose mengelabui De Ligt sebelum mengumpan kepada Alli.

Fragmen yang terjadi selanjutnya adalah keberhasilan Moura menerima umpan Alli yang ditutup dengan sepakan dari dalam kotak. Kali ini, Onana tidak mampu mengamankan gawangnya. Spurs mengejar, memperkecil ketertinggalan menjadi 1-2.

Situasi horor bagi Ajax belum berakhir. Empat menit berselang, Moura kembali menggetarkan jala gawang, juga dengan memanfaatkan eror De Ligt. Kedudukan imbang 2-2, ketertinggalan agregat Spurs pun menipis menjadi 2-3.

Menariknya, Spurs seperti mengadopsi cara menyerang Ajax, yakni mengerahkan banyak personel bahkan sejak lini kedua. Tak heran jika akhirnya Spurs begitu gencar mencecar Ajax dengan rangkaian serangan. Sejak gol kedua Moura tadi, Spurs mencatatkan lima upaya tembakan dengan tiga di antaranya mengarah gawang.

Yang mengasyikkan, Ajax tetap mampu menciptakan momentum untuk menginisiasi tembakan. Salah satu yang paling kentara adalah tembakan Ziyech pada menit 81. Terlebih, Lloris juga sudah salah langkah di momen ini.

Namun pada momen ini pulalah, para penggawa disadarkan bahwa dalam beberapa kesempatan, tiang gawang juga menjadi lawan yang memuakkan. Tak heran jika teriakan kesal Ziyech muncul sebagai reaksi.

Tempo permainan makin menjadi-jadi saat laga memasuki menit 80-an. Bahkan Spurs bukannya tak mungkin menambah angka jika para pemain Ajax tak bahu membahu meredakan kemelut yang diciptakan Sissoko dan Son di depan gawang.

Entah kelegaan macam apa yang menghampiri Spurs pada menit 90+6'.  Tidak ada yang tahu setan macam apa yang merasuki Moura. Tampil melempem di laga-laga sebelumnya, ia justru menjadi pahlawan yang mengantarkan timnya pada puncak Liga Champions 2018/19.

Ya, gol Moura di pengujung laga menjadi kunci yang pada akhirnya membukakan pintu final Liga Champions bagi Spurs, pintu yang akan mempertemukannya pada duel puncak melawan Liverpool.